Metro, 26 Maret 2015
Fir'adi Abu Ja'far
assalamu'alaikum warohmatullah hi wabaraokatuh.
» اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ «
“Berhati-hatilah terhadap do'anya orang yang terzalimi, walaupun ia seorang kafir (non-muslim), karena tidak ada penghalang antara do'a yang diucapkannya dengan Allah Ta'ala.” (HR. Ahmad, dan dishahih-kan oleh syekh Albani).
Fir'adi Abu Ja'far
assalamu'alaikum warohmatullah hi wabaraokatuh.
» اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ «
“Berhati-hatilah terhadap do'anya orang yang terzalimi, walaupun ia seorang kafir (non-muslim), karena tidak ada penghalang antara do'a yang diucapkannya dengan Allah Ta'ala.” (HR. Ahmad, dan dishahih-kan oleh syekh Albani).
Saudaraku,
Saat senja yang tenang menyapa kota Rasulullah s.a.w, ada seorang laki-laki yang galau, merasakan ketiada nyamanan dalam bathinnya, kekasatan hati menyelimuti jiwanya, sehingga ia mengunjungi salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang pakar di bidang halal dan haram, yakni Muadz bin Jabal. Ia datang meminta obat kepada sahabat agung ini, agar hatinya kembali lembut, jiwanya tenang, kegalauan menyingkir dan semangat meraih surga kembali bergelora dalam jiwanya.
Laki-laki itu berkata, "(Wahai Muadz) ajarkanlah sesuatu yang bermanfaat untukku!."
Muadz menjawab, "Apakah engkau sanggup melaksanakan pesan-pesanku ini?."
Ia menjawab, "Sesungguhnya aku bersedia mentaati pesan-pesanmu."
Muadz menghela nafas panjang dan memilihkan 5 (lima) kandungan nasihat dan pengajaran untuknya.
"Perbanyak puasa Sunnah, tapi jangan engkau abaikan hak tubuhmu untuk berbuka. Bangunlah di tengah malam dan lakukan qiyam al-lail, tapi jangan engkau lupakan hak matamu untuk istirahat. Hidupi keluargamu dengan nafkah yang halal, jangan engkau bawa harta yang haram masuk ke dalam rumahmu. Jangan engkau menghadap Allah melainkan dalam keadaan berserah diri. Dan waspadalah terhadap do'a orang yang terzalimi." (Shalih Ahmad al-Syami, mawa'izh shahabah).
Saudaraku,
Siapa di antara kita yang tidak mengenal Muadz bin Jabal?. Seorang sahabat yang memiliki ketampanan wajah, faqih dalam dien dan termasuk salah seorang sahabat yang diberi rekomendasi oleh Nabi s.a.w untuk mengajarkan al-Qur'an kepada sahabat lainnya, selain Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab dan Salim maula Abi Huzaifah.
Muadz termasuk sahabat yang dengan bahasa verbal, Nabi s.a.w mengatakan bahwa beliau mencintainya. Adakah satu kebahagiaan yang melebihi kenikmatan ini; dicintai Nabi s.a.w?. Oleh karena itu sahabat agung ini menjadi sumber inspirasi, rujukan atas permasalahan dien, lumbung ilmu bagi sahabat yang lain.
Saudaraku,
Bila kita kaji hadits-hadits Nabi s.a.w, kita pahami bahwa setiap amalan manusia akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan yang semisalnya, terkecuali amalan puasa. Karena amalan puasa tidak dibatasi lipatan pahalanya.
Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah hingga lipatan tanpa ada batasan bilangannya. Rahasianya, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali, ”Karena orang yang menjalani puasa berarti menjalani kesabaran.”
Sedangkan balasan orang yang bersabar, sebagaimana firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).
Oleh karena itu, Muadz bin Jabal memulai nasihatnya dengan memperbanyak puasa. Sebab orang yang banyak berpuasa Sunnah, melambangkan bahwa ia memiliki jiwa sabar yang besar. Sebaliknya, orang yang sepi hari-harinya dari puasa Sunnah, menandakan bahwa ia kurang sabar dalam menjalani hidup di atas jalan iman.
Saudaraku,
Shalat malam sering diidentikan dengan kesungguhan dalam mendaki puncak ubudiyah. Artinya orang yang membiarkan malam-malamnya berlalu tanpa ruku' dan sujud di hadapan-Nya, maka ia telah terlempar dari kafilah pemburu surga.
Terlebih orang-orang shalih terdahulu merasakan manisnya hidup karena adanya shalat malam. Ketika qiyam al-lail tak terhadirkan dalam hidup, maka kehampaan hidup mereka rasakan.
Abu Sulaiman ad-Darani pernah bertutur, "Ahli ibadah melewati malamnya lebih lezat daripada para pemburu kenikmatan duniawi, kalau bukan karena shalat malam, maka aku tidak pernah merasakan keindahan hidup di dunia ini.”
Wahb bin munabbih berkata, “Shalat malam akan mengangkat derajat orang yang lemah, dan memuliakan orang yang terhina."
Jika kita merasa teramat berat bangun di akhir malam untuk shalat malam, barangkali karena dosa dan maksiat yang terlalu sering kita perbuat dan bahkan berulang kali kita lakukan.
Ada yang pernah berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Kami tidak sanggup (berat) mengerjakan shalat malam.” Beliau menjawab, “Yang membuat kalian sulit shalat malam adalah karena dosa dan maksiat yang kalian perbuat.”
Saudaraku,
Jika tidak ada mudharat lain dari mengais rezki yang haram dan mengkonsumsi makanan yang tidak halal, selain dari terhalangnya kita dari mengukir amal-amal shalih dan memperbuat kebaikan, maka hal itu sudah cukup.
Allah Ta'ala mengisyaratkan korelasi yang teramat erat antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan semangat beramal shalih, dalam firman-Nya, "Wahai Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Mukminun: 51).
Syekh as-Sa'di menafsirkan, "Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebab yang dapat mendorong manusia untuk beramal shalih dan sebab diterimanya amal shalih tersebut."
Saudaraku,
Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa menghadap Allah Ta'ala dalam keadaan yang terbaik, yakni husnul khatimah, dapat terwujud jika kehidupan kita bermandikan tiga hal; mentaati Allah tanpa pernah bermaksiat terhadap-Nya. Mensyukuri nikmat-Nya tanpa pernah mengingkari-Nya serta mengingat-Nya tanpa pernah melupakan-Nya.
Jika kita mengharap dapat meraih husnul khatimah, tapi mengabaikan 3 perkara yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas, maka berarti kita sedang membangun surga mimpi dan kahayalan yang tak akan pernah terwujud di alam realita kehidupan kita. Atau seperti orang yang dengan sadar membiarkan dirinya terjerembab ke dalam lembah neraka.
Saudaraku,
Sedini mungkin dan sejauh mengkin kita hindari perbuatan zalim terhadap sesama kita dan kepada siapa pun jua. Karena kezaliman akan menetaskan do'a-do'a yang buruk dari orang yang terzalimi terhadap orang yang telah menzaliminya. Padahal Rasulullah s.a.w memberi garansi keterkabulan do'a bagi orang yang terzalimi, karena tiada pembatas antara do'anya dengan Yang Berada di Langit sana. Sementara orang yang terzalimi selalu dikaitkan dengan do'a-do'a keburukan (laknat) terhadap pelaku zalim.
Dalam buku "min mabadi' al-Islam" jilid 3 hal. 196-197, Ali Laban menceritakan bagaimana dahsyatnya do'a orang yang terzalimi itu.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, merebak suatu isu dalam waktu yang lama di kalangan penduduk Madinah terhadap Sa’id bin Zaid. Yakni, seorang wanita bernama Arwa binti uwais menuduh Sa’id bin Zaid telah merampas tanahnya dan menggabungkannya dengan tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan tuduhannya itu ke seantero kaum muslimin, dan kemudian mengadukan perkaranya kepada gubernur Madinah, Marwan bin al-Hakam. Marwan mengirim utusan kepada Sa’id untuk menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.
Kata Sa’id, “Dia menuduhku menzaliminya (meramapas tanahnya yang berbatasan dengan tanah saya). Bagaimana mungkin aku menzaliminya, sementara aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, “Siapa saja yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal, nanti pada hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya. Ya Allah! dia menuduhku telah menzalimi dirinya. Seandainya tuduhan itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya denganku dan buktikanlah kepada kaum muslimin dengan bukti yang terang bahwa tanah itu adalah hak milik-ku dan bahwa aku tidak pernah menzaliminya."
Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir besar yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka, terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Sa’id-lah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan sesudah itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur, yang ia gali sendiri.
Kata Abdullah bin Umar, “Ketika kami masih kanak-kanak, kami biasa mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain, “Dibutakan mata penglihatanmu seperti Arwa’.”
Saudaraku,
Insyaallah jika kita pegang erat-erat pesan Muadz bin Jabal ini, kita akan selamat dalam meretasi kehidupan yang penuh dengan cobaan dan ujian yang berat.
Menghiasi hari dengan menahan lapar. Mencerahkan malam dengan shalat malam. Mengharamkan diri dari mengambil income yang haram. Menapaki tangga husnul khatimah. Dan mewaspadai sesamar apa pun warna kezaliman.
Jika kita lakukan pesanan sahabat agung ini, kita pasti selamat dunia akherat. Berselimutkan do'a malaikat. Mendapat kucuran rahmat dari Zat yang Maha Berkat. Dan kita pun menjadi pribadi mukmin yang berbudi pekerti memikat. Wallahu a'lam bishawab.
Saat senja yang tenang menyapa kota Rasulullah s.a.w, ada seorang laki-laki yang galau, merasakan ketiada nyamanan dalam bathinnya, kekasatan hati menyelimuti jiwanya, sehingga ia mengunjungi salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang pakar di bidang halal dan haram, yakni Muadz bin Jabal. Ia datang meminta obat kepada sahabat agung ini, agar hatinya kembali lembut, jiwanya tenang, kegalauan menyingkir dan semangat meraih surga kembali bergelora dalam jiwanya.
Laki-laki itu berkata, "(Wahai Muadz) ajarkanlah sesuatu yang bermanfaat untukku!."
Muadz menjawab, "Apakah engkau sanggup melaksanakan pesan-pesanku ini?."
Ia menjawab, "Sesungguhnya aku bersedia mentaati pesan-pesanmu."
Muadz menghela nafas panjang dan memilihkan 5 (lima) kandungan nasihat dan pengajaran untuknya.
"Perbanyak puasa Sunnah, tapi jangan engkau abaikan hak tubuhmu untuk berbuka. Bangunlah di tengah malam dan lakukan qiyam al-lail, tapi jangan engkau lupakan hak matamu untuk istirahat. Hidupi keluargamu dengan nafkah yang halal, jangan engkau bawa harta yang haram masuk ke dalam rumahmu. Jangan engkau menghadap Allah melainkan dalam keadaan berserah diri. Dan waspadalah terhadap do'a orang yang terzalimi." (Shalih Ahmad al-Syami, mawa'izh shahabah).
Saudaraku,
Siapa di antara kita yang tidak mengenal Muadz bin Jabal?. Seorang sahabat yang memiliki ketampanan wajah, faqih dalam dien dan termasuk salah seorang sahabat yang diberi rekomendasi oleh Nabi s.a.w untuk mengajarkan al-Qur'an kepada sahabat lainnya, selain Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab dan Salim maula Abi Huzaifah.
Muadz termasuk sahabat yang dengan bahasa verbal, Nabi s.a.w mengatakan bahwa beliau mencintainya. Adakah satu kebahagiaan yang melebihi kenikmatan ini; dicintai Nabi s.a.w?. Oleh karena itu sahabat agung ini menjadi sumber inspirasi, rujukan atas permasalahan dien, lumbung ilmu bagi sahabat yang lain.
Saudaraku,
Bila kita kaji hadits-hadits Nabi s.a.w, kita pahami bahwa setiap amalan manusia akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan yang semisalnya, terkecuali amalan puasa. Karena amalan puasa tidak dibatasi lipatan pahalanya.
Oleh karena itu, amalan puasa akan dilipatgandakan oleh Allah hingga lipatan tanpa ada batasan bilangannya. Rahasianya, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali, ”Karena orang yang menjalani puasa berarti menjalani kesabaran.”
Sedangkan balasan orang yang bersabar, sebagaimana firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10).
Oleh karena itu, Muadz bin Jabal memulai nasihatnya dengan memperbanyak puasa. Sebab orang yang banyak berpuasa Sunnah, melambangkan bahwa ia memiliki jiwa sabar yang besar. Sebaliknya, orang yang sepi hari-harinya dari puasa Sunnah, menandakan bahwa ia kurang sabar dalam menjalani hidup di atas jalan iman.
Saudaraku,
Shalat malam sering diidentikan dengan kesungguhan dalam mendaki puncak ubudiyah. Artinya orang yang membiarkan malam-malamnya berlalu tanpa ruku' dan sujud di hadapan-Nya, maka ia telah terlempar dari kafilah pemburu surga.
Terlebih orang-orang shalih terdahulu merasakan manisnya hidup karena adanya shalat malam. Ketika qiyam al-lail tak terhadirkan dalam hidup, maka kehampaan hidup mereka rasakan.
Abu Sulaiman ad-Darani pernah bertutur, "Ahli ibadah melewati malamnya lebih lezat daripada para pemburu kenikmatan duniawi, kalau bukan karena shalat malam, maka aku tidak pernah merasakan keindahan hidup di dunia ini.”
Wahb bin munabbih berkata, “Shalat malam akan mengangkat derajat orang yang lemah, dan memuliakan orang yang terhina."
Jika kita merasa teramat berat bangun di akhir malam untuk shalat malam, barangkali karena dosa dan maksiat yang terlalu sering kita perbuat dan bahkan berulang kali kita lakukan.
Ada yang pernah berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Kami tidak sanggup (berat) mengerjakan shalat malam.” Beliau menjawab, “Yang membuat kalian sulit shalat malam adalah karena dosa dan maksiat yang kalian perbuat.”
Saudaraku,
Jika tidak ada mudharat lain dari mengais rezki yang haram dan mengkonsumsi makanan yang tidak halal, selain dari terhalangnya kita dari mengukir amal-amal shalih dan memperbuat kebaikan, maka hal itu sudah cukup.
Allah Ta'ala mengisyaratkan korelasi yang teramat erat antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan semangat beramal shalih, dalam firman-Nya, "Wahai Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Mukminun: 51).
Syekh as-Sa'di menafsirkan, "Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebab yang dapat mendorong manusia untuk beramal shalih dan sebab diterimanya amal shalih tersebut."
Saudaraku,
Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa menghadap Allah Ta'ala dalam keadaan yang terbaik, yakni husnul khatimah, dapat terwujud jika kehidupan kita bermandikan tiga hal; mentaati Allah tanpa pernah bermaksiat terhadap-Nya. Mensyukuri nikmat-Nya tanpa pernah mengingkari-Nya serta mengingat-Nya tanpa pernah melupakan-Nya.
Jika kita mengharap dapat meraih husnul khatimah, tapi mengabaikan 3 perkara yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas, maka berarti kita sedang membangun surga mimpi dan kahayalan yang tak akan pernah terwujud di alam realita kehidupan kita. Atau seperti orang yang dengan sadar membiarkan dirinya terjerembab ke dalam lembah neraka.
Saudaraku,
Sedini mungkin dan sejauh mengkin kita hindari perbuatan zalim terhadap sesama kita dan kepada siapa pun jua. Karena kezaliman akan menetaskan do'a-do'a yang buruk dari orang yang terzalimi terhadap orang yang telah menzaliminya. Padahal Rasulullah s.a.w memberi garansi keterkabulan do'a bagi orang yang terzalimi, karena tiada pembatas antara do'anya dengan Yang Berada di Langit sana. Sementara orang yang terzalimi selalu dikaitkan dengan do'a-do'a keburukan (laknat) terhadap pelaku zalim.
Dalam buku "min mabadi' al-Islam" jilid 3 hal. 196-197, Ali Laban menceritakan bagaimana dahsyatnya do'a orang yang terzalimi itu.
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, merebak suatu isu dalam waktu yang lama di kalangan penduduk Madinah terhadap Sa’id bin Zaid. Yakni, seorang wanita bernama Arwa binti uwais menuduh Sa’id bin Zaid telah merampas tanahnya dan menggabungkannya dengan tanah Said sendiri. Wanita tersebut menyebarkan tuduhannya itu ke seantero kaum muslimin, dan kemudian mengadukan perkaranya kepada gubernur Madinah, Marwan bin al-Hakam. Marwan mengirim utusan kepada Sa’id untuk menanyakan perihal tuduhan wanita tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.
Kata Sa’id, “Dia menuduhku menzaliminya (meramapas tanahnya yang berbatasan dengan tanah saya). Bagaimana mungkin aku menzaliminya, sementara aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, “Siapa saja yang mengambil tanah orang lain walaupun sejengkal, nanti pada hari kiamat Allah memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya. Ya Allah! dia menuduhku telah menzalimi dirinya. Seandainya tuduhan itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang dipersengketakannya denganku dan buktikanlah kepada kaum muslimin dengan bukti yang terang bahwa tanah itu adalah hak milik-ku dan bahwa aku tidak pernah menzaliminya."
Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir besar yang belum pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Maka, terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Sa’id-lah yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan sesudah itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur, yang ia gali sendiri.
Kata Abdullah bin Umar, “Ketika kami masih kanak-kanak, kami biasa mendengar orang berkata bila mengutuk orang lain, “Dibutakan mata penglihatanmu seperti Arwa’.”
Saudaraku,
Insyaallah jika kita pegang erat-erat pesan Muadz bin Jabal ini, kita akan selamat dalam meretasi kehidupan yang penuh dengan cobaan dan ujian yang berat.
Menghiasi hari dengan menahan lapar. Mencerahkan malam dengan shalat malam. Mengharamkan diri dari mengambil income yang haram. Menapaki tangga husnul khatimah. Dan mewaspadai sesamar apa pun warna kezaliman.
Jika kita lakukan pesanan sahabat agung ini, kita pasti selamat dunia akherat. Berselimutkan do'a malaikat. Mendapat kucuran rahmat dari Zat yang Maha Berkat. Dan kita pun menjadi pribadi mukmin yang berbudi pekerti memikat. Wallahu a'lam bishawab.