ust. fir'adu abu ja'far
assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
عَنْ أبي هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه- قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: » مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالا يَعْنِيهِ «
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Di antara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya).
Saudaraku,
Mengekang syahwat lisan; tidak berbicara, komentar, diskusi, debat, ngomong ngalor ngidul, canda, gurau dan yang senada dengan itu, kita rasakan lebih berat daripada mengekang syahwat perut dan yang di bawah perut.
Kita biasa berpuasa tidak makan dan minum satu hari penuh. Demikian pula tidak berhubungan intim dengan pasangan hidup kita satu pekan pun kita sanggup. Tapi siapa di antara kita yang sanggup tidak berbicara dan berkata-kata satu hari penuh? Mungkin kita tidak akan sanggup. Bahkan dalam tidur pun kita terkadang berbicara, yakni dalam igauan dan mimpi.
Dalam hidup dan kehidupan ini, terkadang kita tanpa sadar mengucapkan perkataan yang sia-sia, tak berfaedah tanpa guna. Kita mengira hal tersebut tidak berdampak buruk terhadap masa depan kita di sana. Kita berpikir apa yang kita lakukan tiada hisabnya di sana.
Padahal dari syahwat lisan inilah yang banyak menggelincirkan bani Adam ke dalam neraka. Padahal dari perkataan yang keluar dari lisan kita, terukur kualitas keislaman dan keimanan kita, baik maupun buruknya.
Bahkan di antara sifat 'ibad ar-Rahman' puncak ketakwaan yang tertinggi yang disebutkan dalam surat al-Furqan ayat 72, "Orang-orang yang tidak mendatangi az-zuur, dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan al-Laghwu (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah), mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya."
Mereka membersihkan dan memuliakan diri mereka dengan tidak ikut bergabung dalam pembicaraan itu dan enggan duduk di majlis tersebut. Mereka meyakini bahwa berbicara tentang perkara yang tidak mengandung kebaikan semacam itu meskipun tidak mendatangkan dosa, tetapi hal itu termasuk prilaku pandir yang dapat menurunkan nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan. Sehingga mereka lebih memilih untuk menjaga diri dari hal itu.
Di dalam firman Allah SWT, “Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah”, terdapat isyarat bahwa mereka itu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menghadiri dan mendengarkan perkataan itu, akan tetapi peristiwa itu terjadi secara kebetulan lalu mereka pun menjaga kemuliaan diri mereka dengan tidak ikut bergabung di dalamnya.
Saudaraku,
Imam Nawawi di dalam kitab 'riyadhus shalihin' menegaskan, "Ketahuilah bahwa sudah sepantasnya setiap orang (muslim) senantiasa menjaga lisannya dari setiap ucapan yang tidak mengandung maslahat untuk dirinya. Walau pun perkataan tersebut tidak mengandung dosa tetapi menjauhinya merupakan perbuatan Sunnah. Sebab, perkataan yang mubah terkadang bisa menjatuhkan seseorang pada perkataan yang haram dan makruh, yang biasa terjadi dalam urf (kebiasaan) manusia."
Orang-orang Bangladesh, India dan Kerla di Arab Saudi sering berkomentar dengan bahasa Arab khas mereka perihal orang yang berbicara tanpa faedah dan manfaat "ger ger katir mapi paedah".
Suatu ketika Salman al-Farisi RA pernah menasihati kita:
» أَكْثَرُ النَّاسِ ذُنُوْبًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ, أَكْثَرُهُمْ كَلاَمًا فِيْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلّ «
"Orang yang paling banyak dosanya pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak berbicara dalam batas bermaksiat kepada Allah SWT."
Saudaraku,
Nasihat sahabat Nabi yang agung ini, lebih kita maknai sebagai teguran keras buat kita. Yang sering terjebak pada pembicaraan yang tak berguna. Dan bahkan cenderung pada pembicaraan maksiat dan dosa.
Di masjid, yang semestinya kita memperbanyak zikir dan do'a serta tilawah al-Qur'an, kita malah membicarakan pertandingan liga Champion, kondisi pasar pagi, ngerumpi pengurus masjid yang jarang shalat berjama'ah, guru yang kurang memberi keteladanan, ustadz yang sering telat shalat Subuh, Polisi yang sering men-tilang kendaraan, membicarakan teman-teman yang tak hadir di pengajian dan seterusnya. Di pasar, di persimpangan jalan dan di tempat-tempat lainnya, tentu pembicaraan kita lebih dari itu.
Di jejaring sosial FB, Twitter apa yang kita tulis dan kita bicarakan? Ternyata banyak hal-hal yang sangat tidak bermanfaat dan bahkan menjurus pada perkataan sia-sia dan mungkin mengandung dosa dan maksiat.
Saudaraku,
Dalam kitab 'al-wafi', Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha menarasikan masyarakat yang mampu menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia sebagai masyarakat unggul. Kunci keberhasilan diri agar tidak terjatuh pada prilaku sia-sia dan perkataan yang tak berfaedah adalah sebagai berikut:
• Mengetahui bahwa menyibukkan diri dengan urusan yang tidak mendatangkan manfaat adalah kesia-siaan dan tanda lemahnya iman.
Sebagai seorang muslim, kita bertanggung jawab atas setiap langkah dan perbuatan yang kita lakukan, setiap waktu yang kita pergunakan, dan setiap kata yang kita ucapkan. Jika kita kemudian disibukkan oleh hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat, hingga kita meninggalkan kewajiban yang seharusnya kita lakukan, melupakan amanat yang sepatutnya kita emban, maka di dunia kita akan mendapat cela dan di akhirat akan mendapat siksa. Hal ini adalah tanda lemahnya iman yang ada dalam diri kita, bahkan ke-Islaman kita hampir mendekati Islam KTP, ke-Islaman yang hanya sebatas di bibir dan lidah.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat meninggal dunia, lalu seseorang berkata, “Berilah kabar gembira dengan surga.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian tidak tahu… mungkin ia pernah mengucapkan perkataan yang tidak mendatangkan manfaat atau bakhil terhadap sesuatu [harta] yang sebenarnya tidak akan berkurang.” (HR. Tirmidzi).
• Keyakinan bahwa menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat merupakan jalan keselamatan.
Jika kita sebagai seorang muslim menyadari kewajiban dan tanggung jawab kita, niscaya kita akan menyibukkan diri dengan berbagai hal yang mendatangkan manfaat, bagi dunia maupun akhirat kita, dan akan menghindari segala hal yang tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan kita.
Imam Malik menyebutkan bahwa Luqman al-Hakim pernah ditanya oleh seseorang perihal kunci keberkahan hidupnya, “Apa yang menjadikan engkau sampai pada derajat seperti ini?.” Beliau menjawab, “Kejujuran, menepati janji, dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”
• Kita menyibukan diri anda dengan mengingat Allah SWT niscaya kita akan menjauhi perkara yang tidak bermanfaat.
Jika kita mampu beribadah kepada Allah SWT seolah-olah melihat-Nya, merasakan kedekatan-Nya, pengawasan-Nya niscaya kita akan menyibukkan diri dengan hal-hal yang mendatangkan manfaat. Jika kita mampu melakukan ini maka yang demikian itu adalah bukti kebenaran iman kita kepada Allah. Namun jika kita tetap melakukan berbagai hal yang tidak bermanfaat, maka hal itu pertanda bahwa kita tidak mampu menghadirkan rasa dekat kepada Allah SWT dan bukti bahwa keimanan kita belum maksimal.
Hasan al-Bashri berkata, “Tanda, bahwa Allah berpaling dari hamba-Nya adalah jika seorang hamba menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat.”
• Hendaknya kita menyibukkan diri dengan berbagai hal yang bernilai dan bukan disibukkan dengan masalah-masalah yang tidak berarti.
• Kita sucikan jiwa kita dengan cara menjauhi semua perkara yang tidak bermanfaat.
Saudaraku,
Pernahkah kita mencatat dalam buku harian kita, berapa kali meng-ghibah orang lain dalam sehari? Berapa kali kita berdusta dalam pembicaraan kita setiap pecan? Berapa kali kita memarahi anak-anak dan istri kita setiap bulan dan seterusnya.
Mari kita berbenah. Pelihara lisan kita dari pembicaraan yang sia-sia. Apalagi yang mengandung dosa. Selama waktu berbenah masih ada. Selama penyesalan besar belum menyapa kita. Selama ruh belum meninggalkan jasad kita. Selama pintu taubat belum tertutup untuk kita. Wallahu a'lam bishawab.
assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
عَنْ أبي هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه- قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: » مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالا يَعْنِيهِ «
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Di antara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya).
Saudaraku,
Mengekang syahwat lisan; tidak berbicara, komentar, diskusi, debat, ngomong ngalor ngidul, canda, gurau dan yang senada dengan itu, kita rasakan lebih berat daripada mengekang syahwat perut dan yang di bawah perut.
Kita biasa berpuasa tidak makan dan minum satu hari penuh. Demikian pula tidak berhubungan intim dengan pasangan hidup kita satu pekan pun kita sanggup. Tapi siapa di antara kita yang sanggup tidak berbicara dan berkata-kata satu hari penuh? Mungkin kita tidak akan sanggup. Bahkan dalam tidur pun kita terkadang berbicara, yakni dalam igauan dan mimpi.
Dalam hidup dan kehidupan ini, terkadang kita tanpa sadar mengucapkan perkataan yang sia-sia, tak berfaedah tanpa guna. Kita mengira hal tersebut tidak berdampak buruk terhadap masa depan kita di sana. Kita berpikir apa yang kita lakukan tiada hisabnya di sana.
Padahal dari syahwat lisan inilah yang banyak menggelincirkan bani Adam ke dalam neraka. Padahal dari perkataan yang keluar dari lisan kita, terukur kualitas keislaman dan keimanan kita, baik maupun buruknya.
Bahkan di antara sifat 'ibad ar-Rahman' puncak ketakwaan yang tertinggi yang disebutkan dalam surat al-Furqan ayat 72, "Orang-orang yang tidak mendatangi az-zuur, dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan al-Laghwu (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah), mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya."
Mereka membersihkan dan memuliakan diri mereka dengan tidak ikut bergabung dalam pembicaraan itu dan enggan duduk di majlis tersebut. Mereka meyakini bahwa berbicara tentang perkara yang tidak mengandung kebaikan semacam itu meskipun tidak mendatangkan dosa, tetapi hal itu termasuk prilaku pandir yang dapat menurunkan nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan. Sehingga mereka lebih memilih untuk menjaga diri dari hal itu.
Di dalam firman Allah SWT, “Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah”, terdapat isyarat bahwa mereka itu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menghadiri dan mendengarkan perkataan itu, akan tetapi peristiwa itu terjadi secara kebetulan lalu mereka pun menjaga kemuliaan diri mereka dengan tidak ikut bergabung di dalamnya.
Saudaraku,
Imam Nawawi di dalam kitab 'riyadhus shalihin' menegaskan, "Ketahuilah bahwa sudah sepantasnya setiap orang (muslim) senantiasa menjaga lisannya dari setiap ucapan yang tidak mengandung maslahat untuk dirinya. Walau pun perkataan tersebut tidak mengandung dosa tetapi menjauhinya merupakan perbuatan Sunnah. Sebab, perkataan yang mubah terkadang bisa menjatuhkan seseorang pada perkataan yang haram dan makruh, yang biasa terjadi dalam urf (kebiasaan) manusia."
Orang-orang Bangladesh, India dan Kerla di Arab Saudi sering berkomentar dengan bahasa Arab khas mereka perihal orang yang berbicara tanpa faedah dan manfaat "ger ger katir mapi paedah".
Suatu ketika Salman al-Farisi RA pernah menasihati kita:
» أَكْثَرُ النَّاسِ ذُنُوْبًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ, أَكْثَرُهُمْ كَلاَمًا فِيْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلّ «
"Orang yang paling banyak dosanya pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak berbicara dalam batas bermaksiat kepada Allah SWT."
Saudaraku,
Nasihat sahabat Nabi yang agung ini, lebih kita maknai sebagai teguran keras buat kita. Yang sering terjebak pada pembicaraan yang tak berguna. Dan bahkan cenderung pada pembicaraan maksiat dan dosa.
Di masjid, yang semestinya kita memperbanyak zikir dan do'a serta tilawah al-Qur'an, kita malah membicarakan pertandingan liga Champion, kondisi pasar pagi, ngerumpi pengurus masjid yang jarang shalat berjama'ah, guru yang kurang memberi keteladanan, ustadz yang sering telat shalat Subuh, Polisi yang sering men-tilang kendaraan, membicarakan teman-teman yang tak hadir di pengajian dan seterusnya. Di pasar, di persimpangan jalan dan di tempat-tempat lainnya, tentu pembicaraan kita lebih dari itu.
Di jejaring sosial FB, Twitter apa yang kita tulis dan kita bicarakan? Ternyata banyak hal-hal yang sangat tidak bermanfaat dan bahkan menjurus pada perkataan sia-sia dan mungkin mengandung dosa dan maksiat.
Saudaraku,
Dalam kitab 'al-wafi', Dr. Musthafa Dieb Al-Bugha menarasikan masyarakat yang mampu menghindarkan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia sebagai masyarakat unggul. Kunci keberhasilan diri agar tidak terjatuh pada prilaku sia-sia dan perkataan yang tak berfaedah adalah sebagai berikut:
• Mengetahui bahwa menyibukkan diri dengan urusan yang tidak mendatangkan manfaat adalah kesia-siaan dan tanda lemahnya iman.
Sebagai seorang muslim, kita bertanggung jawab atas setiap langkah dan perbuatan yang kita lakukan, setiap waktu yang kita pergunakan, dan setiap kata yang kita ucapkan. Jika kita kemudian disibukkan oleh hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat, hingga kita meninggalkan kewajiban yang seharusnya kita lakukan, melupakan amanat yang sepatutnya kita emban, maka di dunia kita akan mendapat cela dan di akhirat akan mendapat siksa. Hal ini adalah tanda lemahnya iman yang ada dalam diri kita, bahkan ke-Islaman kita hampir mendekati Islam KTP, ke-Islaman yang hanya sebatas di bibir dan lidah.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat meninggal dunia, lalu seseorang berkata, “Berilah kabar gembira dengan surga.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian tidak tahu… mungkin ia pernah mengucapkan perkataan yang tidak mendatangkan manfaat atau bakhil terhadap sesuatu [harta] yang sebenarnya tidak akan berkurang.” (HR. Tirmidzi).
• Keyakinan bahwa menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat merupakan jalan keselamatan.
Jika kita sebagai seorang muslim menyadari kewajiban dan tanggung jawab kita, niscaya kita akan menyibukkan diri dengan berbagai hal yang mendatangkan manfaat, bagi dunia maupun akhirat kita, dan akan menghindari segala hal yang tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan kita.
Imam Malik menyebutkan bahwa Luqman al-Hakim pernah ditanya oleh seseorang perihal kunci keberkahan hidupnya, “Apa yang menjadikan engkau sampai pada derajat seperti ini?.” Beliau menjawab, “Kejujuran, menepati janji, dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”
• Kita menyibukan diri anda dengan mengingat Allah SWT niscaya kita akan menjauhi perkara yang tidak bermanfaat.
Jika kita mampu beribadah kepada Allah SWT seolah-olah melihat-Nya, merasakan kedekatan-Nya, pengawasan-Nya niscaya kita akan menyibukkan diri dengan hal-hal yang mendatangkan manfaat. Jika kita mampu melakukan ini maka yang demikian itu adalah bukti kebenaran iman kita kepada Allah. Namun jika kita tetap melakukan berbagai hal yang tidak bermanfaat, maka hal itu pertanda bahwa kita tidak mampu menghadirkan rasa dekat kepada Allah SWT dan bukti bahwa keimanan kita belum maksimal.
Hasan al-Bashri berkata, “Tanda, bahwa Allah berpaling dari hamba-Nya adalah jika seorang hamba menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat.”
• Hendaknya kita menyibukkan diri dengan berbagai hal yang bernilai dan bukan disibukkan dengan masalah-masalah yang tidak berarti.
• Kita sucikan jiwa kita dengan cara menjauhi semua perkara yang tidak bermanfaat.
Saudaraku,
Pernahkah kita mencatat dalam buku harian kita, berapa kali meng-ghibah orang lain dalam sehari? Berapa kali kita berdusta dalam pembicaraan kita setiap pecan? Berapa kali kita memarahi anak-anak dan istri kita setiap bulan dan seterusnya.
Mari kita berbenah. Pelihara lisan kita dari pembicaraan yang sia-sia. Apalagi yang mengandung dosa. Selama waktu berbenah masih ada. Selama penyesalan besar belum menyapa kita. Selama ruh belum meninggalkan jasad kita. Selama pintu taubat belum tertutup untuk kita. Wallahu a'lam bishawab.